Guru Peduli, Karakter Peserta Didik Terbentuk
Guru Peduli, Karakter Peserta Didik Terbentuk
Budi Lenggono, S.Pd., M.Psi.
Dalam dunia pendidikan, peran guru sangatlah penting. Guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing agar anak menjadi cerdas dan berkarakter. Oleh karena itu headline pendidikan karakter menjadi hangat di tengah merosotnya moral bangsa yang ditandai dengan masih munculnya kasus tindak kriminal dan tindak pidana korupsi hari-hari ini. Pendidikan karakter niscaya diterapkan guna mengajarkan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu dalam bermasyarakat dan negara (Akhwani & Romdloni, 2021). Kalau pendidikan menumbuhkan karakter islami sebagaimana yang diajarkan Muhammad SAW sebagai teladan manusia menjadi nafasnya maka guru pun perlu memiliki karakter identik atau dekat dengan Sang Nabi tersebut. Pendidikan karakter hendaknya ditanamkan sejak dini terutama di sekolah dasar sebagai tempat pendidikan yang menjadi fondasi bagi pembentukan karakter anak (Naziyah et al., 2021).
Timbullah pertanyaan yang barangkali mengemuka di benak para orang tua peserta didik, “Apakah anak saya dibimbing oleh guru yang mampu menumbuhkan karakternya sesuai yang diharapkan?” Pertanyaan seperti ini bukanlah pertanyaan aneh, namun seakan membutuhkan konfirmasi dari stake holder sekolah dan guru itu sendiri. Hal ini dikarenakan para orangtua/wali telah menitipkan anaknya kepada guru (sekolah) dengan harapan yang besar. Apalagi di era industri 4.0 seperti sekarang ini, peran guru tidak dapat tergantikan sepenuhnya oleh teknologi (Lubis, 2019)
Konsep Pembelajaran
Pembelajaran didefinisikan sebagai sebuah kegiatan guru mengajar atau membimbing peserta didik menuju proses pendewasaan diri (Suyono & Hariyanto, 2014). Pengertian tersebut menekankan pada proses pendewasaan yang artinya mengajar dalam bentuk penyampaian materi tidak serta merta menyampaikan materi (transfer of knowledge), tetapi lebih bagaimana menyampaikan dan mengambil nilai-nilai (transfer of value) dari materi yang diajarkan agar dengan bimbingan pendidik bermanfaat untuk mendewasakan peserta didik. Sementara itu, Sugihartono dkk (2007) mendefinisikan pembelajaran lebih operasional, yaitu sebagai suatu upaya yang dilakukan pendidik atau guru secara sengaja dengan tujuan menyampaikan ilmu pengetahuan, dengan cara mengorganisasikan dan menciptakan suatu sistem lingkungan belajar dengan berbagai metode sehingga peserta didik dapat melakukan kegiatan belajar secara lebih optimal. Konsep pengertian pembelajaran tersebut pada dasarnya menitikberatkan pada proses pembelajaran sebagai sebuah aktivitas yang direncanakan, dilakukan, dan dievaluasi oleh guru.
Pembelajaran dilaksanakan secara sengaja untuk mengubah dan membimbing peserta didik dalam mempelajari sesuatu dari lingkungan dalam bentuk ilmu pengetahuan untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik menuju kedewasaan peserta didik. Pembelajaran memiliki tujuan sehingga peserta didik akan memiliki kemampuan atau keterampilan tertentu. Keterampilan yang harus dimiliki peserta didik menurut Wold Economic Forum (2016) meliputi: (1) pemyelesaian masalah kompleks (complex problem solving), (2) berkoordinasi dengan orang lain (coordinating with others), (3) manajemen masyarakat (people management), (4) berpikir kritis (critical thinking), (5) negosiasi (negotiation), (6) kontrol mutu (quality control), (7) berorientasi layanan (service orientation), (8) menilai dan memutuskan (judgement and decision making), (9) belajar aktif (active learning), dan (10) kreativitas creativity, hingga dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masa mendatang (Ma, 2019). Keterampilan tersebut harus dikuasai peserta didik agar dapat memenuhi tuntutan kebutuhan industri di masa mendatang. Sementara itu, pemerintah telah menyiapkan kurikulum yang menekankan pada STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) untuk mencapai kesuksesan pelaksanaan peta jalan Making Indonesia (Hartarto, 2022).
Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah terjadinya perubahan tingkah laku peserta didik. Komponen ini juga memiliki kaitan erat dengan suasana belajar di ruang kelas maupun di luar kelas. Berbagai upaya pendidik untuk menumbuhkembangkan motivasi dan kreativitas peserta didik dalam pembelajaran, baik di dalam kelas maupun individual (di luar kelas), merupakan suatu langkah yang tepat (Idi, 2016). Flewelling dan Higginson (2003) menggambarkan peran guru antara lain: (1) Memberikan stimulasi kepada peserta didik dengan menyedian tugas-tugas pembelajaran yang kaya (rich learning tasks) dan terancang dengan baik untuk meningkatkan perkembangan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial; (2) Berinteraksi dengan peserta didik untuk mendorong keberanian, mengilhami, menantang, berdiskusi, berbagi, menjelaskan, menegaskan, merefleksi, menilai dan merayakan perkembangan, pertumbuhan dan keberhasilan; (3) Menunjukkan manfaat yang diperoleh dari mempelajari suatu pokok bahasan; (4) Berperan sebagai seseorang yang membantu, seseorang yang mengerahkan dan memberi penegasan, seseorang yang memberi jiwa dan mengilhami peserta didik dengan cara membangkitkan rasa ingin tahu, rasa antusias, gairah dari seorang pembelajar yang berani mengambil resiko (risk taking learning), dengan demikian guru berperan sebagai pemberi informasi (informer), fasilitator, dan seorang artis.
Senada dengan hal tersebut, Pullias dan Young (1968) mengutarakan ada empat belas karakteristik yang melekat pada guru yang unggul, yaitu: guru sebagai guru, guru sebagai teladan, guru sebagai penasihat, guru sebagai pemegang otoritas, guru sebagai pembaharu, guru sebagai pemandu, guru sebagai pelaksana tugas rutin, guru sebagai insan visioner, guru sebagai pencipta, guru sebagai orang yang realistis, guru sebagai penutur cerita dan seorang aktor, guru sebagai pembongkar kemah, guru sebagai peneliti, dan guru sebagai penilai. Walaupun istilah yang digunakan adalah “pembelajaran”, bukan berarti guru harus menghilangkan perannya sebagai pengajar. Dalam konteks pembelajaran, sama sekali tidak berarti memperbesar peranan peserta didik di satu pihak dan memperkecil peranan guru di pihak lain (Kirom, 2017).
Keberhasilan pembelajaran di kelas sangat ditentukan oleh guru. Kegiatan guru di dalam kelas umumnya meliputi dua hal, yaitu mengajar dan mengelola kelas. Kegiatan mengajar dimaksudkan secara langsung menggiatkan peserta didik mencapai tujuan-tujuan. Kegiatan mengelola kelas bermaksud menciptakan dan mempertahankan suasana (kondisi) kelas agar kegiatan mengajar itu dapat berlangsung secara efektif dan efisien (Minsih & Galih D, 2018). Memberi umpan balik dengan segera, mengembangkan hubungan yang baik antara guru dan peserta didik, mengembangkan aturan permainan dalam kegiatan kelompok adalah contoh-contoh kegiatan mengelola kelas. Seiring dengan berjalannya waktu, guru yang intensif melakukan hal tersebut memiliki andil yang besar dalam pertumbuhan karakter peserta didik.
Pentingnya Kepedulian Guru
Peserta didik memperoleh pengalaman belajar di sekolah sejak datang hingga kembali pulang ke rumah atau asrama (bagi peserta boarding school). Dalam memperoleh pengalaman tersebut, barangkali tidak selalu berjalan mulus. Permasalahan dan tantangan dapat saja muncul kapan saja di luar rencana, baik itu datang dari dalam maupun dari luar diri peserta didik. Sebagai contoh, permasalahan datang dari dalam diri antara lain ketidakpercayaan diri, ketidakmampuan, keterlambatan berkembang (fisik atau psikis), kurang bersosialisasi, dan ketakutan. Sementara itu, permasalahan atau tantangan yang datang dari luar dapat berupa bullying dan tugas-tugas akademik.
Guru berperan membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan sehingga dapat mengatasi berbagai permasalahan yang dijumpai (Budiyanto, 2016). Selain memberikan bantuan secara langsung baik itu pengajaran dan motivasi, guru hendaknya juga memberi bantuan secara tak langsung berupa keteladanan. Narwanti (2011) menyebut guru sebagai role model yang perilakunya akan diimitasi (ditiru) oleh anak didiknya. Dalam istilah Jawa guru sebagai orang yang digugu lan ditiru perlu memperhatikan apapun yang dikatakan dan dilakukannya. Hal ini secara tidak langsung guru memiliki kedudukan penting di mata peserta didik sehingga kepeduliannya perlu dimulai dari apa yang dikatakan dan dilakukannya. Dalam hal sikap dan perilaku, guru hendaknya merujuk kepada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana firman Allah Al-Qur’anul Karim berikut.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S Al Ahzab: 21)
Keteladanan guru memiliki keterkaitan terhadap kepedulian guru. Sebagai contoh dalam hal kebersihan. Kepedulian guru akan ‘kebersihan’ dapat menularkan perilaku hidup bersih kepada peserta didik. Guru memberikan teladan dalam membuang sampah pada tempatnya. Hal senada juga dapat diterapkan pada ketertiban, kedisiplinan, kerapian, keindahan, perilaku sosial, dan spiritualitas. Guru memiliki peran supaya bisa menjadi contoh yang baik bagi siswa dan supaya guru bisa menjadi inspirasi bagi siswa (Minsih & Galih D, 2018).
Selama di sekolah peserta didik memiliki banyak kesempatan untuk mengobservasi perilaku teman sebaya dan guru di lingkungan sekolah (Noselya, 2016). Namun demikian, di lain pihak peserta didik membawa karakter yang terbentuk dari rumah dan lingkungan sehari-hari. Ada karakter yang positif dan adapula yang negatif. Hal yang patut diwaspadai adalah perilaku agresif negatif seperti bullying (Olweus, 1993) dan hal lainnya seperti menyakiti, membahayakan, melukai, merugikan, atau mencelakakan individu lain atau objek-objek, baik secara fisik maupun verbal (Taylor et al., 2009). Apa yang terjadi apabila peserta didik mengalami tindakan bullying atau serangan agresifitas sementara guru tak peduli? Tentu hal itu dapat merugikan peserta didik yang lain.
Salah satu bentuk kepedulian guru dalam mengatasi bullying adalah dengan memberi intervensi yang memadai. Kesuksesan intervensi tersebut bergantung pada keyakinan guru akan kemampuan dirinya dalam menyelesaikan permasalahan bullying yang dihadapi siswa di sekolah (Skinner et al., 2014). Guru yang memiliki efikasi dalam penanganan bullying yang tinggi lebih mampu mencegah dan menangani kasus bullying yang terjadi terutama dengan adanya program psikoedukasi di sekolah (Amawidyati & Muhammad, 2017).
Bentuk kepedulian lain yang mungkin kerap diabaikan adalah peduli lingkungan. Bagaimana peserta didik dapat peduli lingkungan jika guru tidak peduli mengenai hal ini? Peduli lingkungan dapat tumbuh dalam diri peserta didik apabila guru turut peduli mengenai hal tersebut dan memberikan teladan serta melakukan persuasi. Selain itu, sekolah perlu membuat program tertentu guna menumbuhkan karakter peduli lingkungan seperti melalui pembiasaan rutin, spontan, keteladanan, pengkondisian, budaya sekolah, dan kesehatan lingkungan (Naziyah et al., 2021).
Penutup
Pendidikan tidaklah sederhana. Di dalamnya merupakan sistem kompleks yang melibatkan guru sebagai fasilitator utama. Fasilitator yang baik akan mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan yang diharapkan, salah satunya adalah terbentuknya karakter yang siap diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Agar dapat menjadi fasilitaor yang baik, guru hendaknya memiliki sikap peduli. Menurut Gourneau (2012) ada lima sikap guru terhadap peserta didik dalam proses pembelajaran, yaitu: (1) menunjukkan kepedulian dan kebaikan; (2) berbagi tanggung jawab; (3) sensitif menerima keragaman; (4) meningkatkan instruksi individu; dan (5) mendorong kreativitas. Sikap tersebut juga diperlukan peserta didik untuk mendukung terciptanya pembelajaran yang kondusif (Kardo & Yuzarion, 2017).
Referensi
Akhwani, & Romdloni, M. A. (2021). Character education during the Covid-19 pandemic in elementary school. Indonesian Journal of Primary Education, 5(1), 1–12.
Al-Qur’anul Karim.
Amawidyati, S. A. G., & Muhammad, A. H. (2017). Program psikoeduasi bullying untuk meningkatkan efikasi diri guru dalam menangani bullying di sekolah dasar. INTUISI, 9(3), 258–266.
Budiyanto, A. (2016). Peran guru dalam mengembangkan kepedulian sosial siswa dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dasar. Jurnal Pendidikan Dompet Dhuafa, 6(2), 16–20.
Flewelling, G., & Higginson, W. (2003). Teaching with rich learning tasks. The Australian Association of Mathematic Teacher.
Gourneau, B. (2012). Five attitudes of effective teachers: Implications for teacher training. Journal of Human Behavior in the Social Environment, 19(4), 113–123.
Hartarto, A. (2022). Making Indonesia 4.0. In Kementerian Perindustrian RI. http://www.kemenperin.go.id/download/18384
Idi, A. (2016). Pengembangan kurikulum: Teori dan praktik. PT Raja Grafindo Persada.
Kardo, R., & Yuzarion. (2017). Sikap guru terhadap peserta didik dalam belajar. Ilmu Pendidikan, 2(2), 189–195.
Kirom, A. (2017). Peran guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran berbasis multikultural. Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 3(1), 69–80.
Lubis, M. (2019). Peran guru pada era pendidikan 4.0. EDUKA: Jurnal Pendidikan, Hukum, Dan Bisnis, 4(2), 68–73.
Ma, J. (2019, November 24). World Economic Forum. Www.Liputan6.Com.
Minsih, M., & Galih D, A. (2018). Peran guru dalam pengelolaan kelas. Profesi Pendidikan Dasar, 5(1), 20–27. https://doi.org/10.23917/ppd.v1i1.6144
Narwanti, S. (2011). Pendidikan Karakter. Familia.
Naziyah, S., Akhwani, A., Nafiah, N., & Hartatik, S. (2021). Implementasi Pendidikan Karakter Peduli Lingkungan di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 5(5), 3482–3489. https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i5.1344
Noselya, E. F. (2016). Penyusunan modul “guru peduli agresivitas siswa” (GPAS). Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 5(2), 1226–1236.
Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Blackwell.
Pullias, E. v, & Young, J. D. (1968). A teacher is a many things. Indiana University Press.
Skinner, A. T., Babinski, L. M., & Gifford, E. (2014). Tearchers’ expectation and self-efficacy for working with bullies and victims. Psychology in the Schools, 51(1), 72–84.
Sugihartono, Fathiyah, K. N., Setiawati, F. A., Harahap, F., & Nurhayati, S. R. (2007). Psikologi pendidikan. UNY Press.
Suyono, & Hariyanto. (2014). Belajar dan pembelajaran: Teori dan konsep dasar. PT Remaja Rosdakarya.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial. Kencana.